
Didalam Babad Arya Tabanan diceritakan bahwa setelah terjadinya musibah gugurnya Ki Patih Kebo Iwo di Jawa karena tipu muslihat dari Patih Gajah Mada pada Kerajaan Majapahit maka Bali adalah merupakan kekuasaan Jawa di bawah Kerajaan Majapahit . Para Arya Kenceng yang merupakan Senopati Bala Yhuda di Kerajaan Majapahit diberikan kekuasaan memerintah di Bali. Pada tahun Icaka Warsa 1256. Sedangkan Sira Sri Arya kenceng diberikan memerintah di Wilayah Tabanan, Sira Ratu Arya Waringin diberikan kekuasaan di Gelgel Sira Arya Sentong diberikan kekuasaan di Pacung dan Sira Arya Tan Wikan diberikan kekuasaan di Wilayah Kaba-kaba. Pada saat pembagian Pemerintahan di Bali yang memegang kekuasaan adalah Sri Kresna Kepakisan yang berkedudukan di Srampangan. Pemerintahan di Tabanan yang diperintah Sira Sri Arya Kenceng Murdaning Nayaka Jagat Tabanan yang Istana atau puri Beliau terletak di Pucangan sekarang Desa Buahan dengan jumlah rakyat pada saat memerintah sebanyak 10.000 orang dari berbagai warna ( catur Kasta ). Selanjutnya dapat diceritakan bahwa Sira Sri Arya Kenceng mempunyai Istri (Permaisuri) yang keturunan dari sang Brahmana berasal dari Ketepeng Reges Majapahit (Jawa). Diceritakan sekarang Pemerintahan Sira Sri Arya Kenceng sangat pandai dan bakti pada Dalem Srampangan, dan disamping merupakan Ipar dari Dalem Srampangan karena istrinya, saudara dari Dalem dan kearifan dan bijaksananya memerintah serta sangat setia maka Sira Sri Arya Kenceng diberikan kehormatan sebagai Mentri yang berkuasa memerintah Raja-raja yang ada di Bali, dan diberikan anugrah apabila wafat diperkenankan dalam Upacara Pengabenan ( Atiwa – tiwa )memakai bade Tumpang 11 (Sebelas). Setelah beberapa kali pergantian Pemerintahan di Tabanan sekarang diceritakan masa Pemerintahan Prabu Pagedangan dan Kerajaan Tabanan sudah pindah pula ke Kota Tabanan sekarang ini, setelah beberapa lama beliau memerintah pada suatu hari belia inggin mengadakan Dewa Yatra kedalam hutan ( Wana bahasa Bali ) perjalanan beliau menuju arah utara di tengah jalan beliau melewati beberapa hutan misalnya hutan yang banyak ditumbuhi pohon bunga-bungaan yang sedang berbunga dan sekarang tempat itu dinamai Desa Wanasari. Perjalanan dilanjutkan sampai pada hutan yang banyak binatang yang cocok untuk binatang buruan dan tempat itu sekarang dinamai Desa Buruan. Perjalanan dilanjutkan kembali sampai beliau pada hutan yang benar-benar lebat (Tebel bahasa Bali ) dan tempat itu sekarang dinamai Penebel. Perjalanan dilanjutkan kembali terus ke utara sampai di hutan tempat orang biasa mencari kayu untuk bahan bangunan ( dalam bahasa Bali tempat itu disebut ebah-ebahan kayu ) dan kini disebut Desa Babahan disitulah beliau istirahat , entah berapa lama beliau istirahat , sekarang beliau bermaksud akan kembali lewat Penebel melalui jalan agak ke Barat Daya. Pada saat beliau kembali tersebut membawa tempat tirta yang disebut didalam bahasa bali “ Sangku “ sampai disuatu tempat masyarakat melihat ada orang lewat bawa Sangku akhirnya masyarakat disana mohon tirta pebersihan mala seolah-olah ada Betara Turun, dan tempat tersebut dinamai Desa Bitara dan sekarang di sebut Desa Pitra . Perjalanan dilanjutkan kembali kearah Selatan sampai di suatu tempat beliau bertemu dengan penduduk setelah beliau bertanya sebagian besar penduduk yang ditanyai soroh guru ( Jeg Guru ) dan kini tempat tersebut dinamai Desa Jegu. Beliau ( Prabu Pegedangan ) melanjutkan perjalanan keselatan melalui daerah persawahan sampai disuatu tempat beliau istirahat, baru dicek peralatan yang dibawa ternyata salah satu alat ada yang hilang yaitu Sangkunya entah dimana terjatuh antara dari Desa Jegu sampai dengan tempat istirahat. Akhirnya Beliau mencari kesana kemari disertai pengawanya tapi sangku tersebut tidak dijumpai. Di sebelah selatan Desa Jegu semua yang mencari Sangku tersebut sambil menangis karena merasa putus asa dan kini tempat tersebut dinamai Banjar Ngis (tempat metetangisan) . Sambil menangis para pencari Sangku itu terus bertanya kepada siapapun penduduk yang mereka jumpai akhirnya ada masyarakat yang nyeletuk bahwa dia melihat Sangku tersebut berada di tengah sawah. Setelah dicek kebenaran informasi dari masyarakat tersebut ternyata memang benar sangku tersebut berada di tengah sawah. Atas kejatuhan Sangku tersebut beliau (Prabu Pegedangan) mengangap harus diadakan upacara pensucian. Untuk membuat upacara penyucian beliau meminta tolong kepada masyarakat disekir tempat tesebut dan dibuatkanlah upacara penebusan/pensucian yang namanya Sesayut penebusan. Akhirnya beliau memberi nama persawahan tempat terjatunya Sangku ( bahasa Bali jatuh=ulung ) Subak Sangku Ulung atau Subak Sengkulung sampai sekarang dan tempat membuat upacara yang dulunya disebut Kesayut lama kelamaan menjadi Kesiut.